Tambang Emas Ilegal di Sungai Barito: Antara Desakan Ekonomi dan Kewajiban Penegakan Hukum

0
33

PALANGKA RAYA – Aktivitas tambang emas yang diduga ilegal kembali marak di daerah aliran Sungai Barito, tepatnya di wilayah Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat serta kalangan pemerhati lingkungan.

Pemerhati hukum, Muhammad Enrico Hamlizar Tulis, SH, MH, menilai praktik tambang emas tanpa izin tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial serta kerugian bagi negara.

Menurutnya, persoalan ini merupakan dilema klasik antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan kewajiban penegakan hukum oleh negara.

“Di satu sisi, kegiatan tambang emas menjadi sumber penghidupan utama bagi sebagian warga di pedesaan dan wilayah terpencil. Namun di sisi lain, praktik tersebut adalah pelanggaran hukum yang berdampak luas terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola sumber daya alam,” ujar Enrico Tulis, Sabtu (1/11/2025).

Ia menjelaskan, secara hukum kegiatan pertambangan telah diatur secara ketat melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa usaha pertambangan hanya dapat dilakukan dengan izin resmi dari pemerintah pusat.

Lebih lanjut, Pasal 158 UU Minerba menegaskan bahwa siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga seratus miliar rupiah. Selain itu, penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dengan ancaman pidana hingga sepuluh tahun penjara dan denda maksimal sepuluh miliar rupiah.

“Secara normatif, tambang emas ilegal tidak dapat dibenarkan karena merupakan tindak pidana pertambangan sekaligus pelanggaran terhadap hukum lingkungan hidup,” tegasnya.

Namun Enrico juga mengingatkan adanya faktor sosial-ekonomi di balik fenomena tersebut. Bagi sebagian warga, aktivitas tambang menjadi satu-satunya sumber penghasilan akibat minimnya lapangan kerja, terbatasnya akses pendidikan, dan kurangnya infrastruktur ekonomi.

“Mereka melakukannya bukan karena keserakahan, melainkan karena desakan kebutuhan hidup. Inilah tantangan besar pemerintah dalam menegakkan hukum sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Dari sisi lingkungan, dampak tambang tanpa izin sangat serius—mulai dari kerusakan hutan, pencemaran sungai akibat merkuri, hingga potensi tanah longsor. Selain itu, konflik sosial dan hilangnya lahan produktif juga kerap muncul di sekitar kawasan tambang.

Menurut Enrico, penegakan hukum tetap diperlukan, tetapi harus dilakukan secara adil dan proporsional. Ia menyarankan beberapa langkah solusi, antara lain pendampingan legalisasi tambang rakyat melalui Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR), penegakan hukum terpadu disertai edukasi lingkungan, serta rehabilitasi dan pengawasan partisipatif yang melibatkan masyarakat.

“Solusi tidak cukup hanya dengan operasi penertiban. Pemerintah perlu mengedepankan pemberdayaan ekonomi, reformasi perizinan, dan penegakan hukum yang berkeadilan serta berpihak pada masyarakat kecil,” pungkas Enrico. (DN)